“Menurut mereka (saksi arsitektur, red) sudah sesuai (bentuk fisik pekerjaan, red), tetapi tidak mencapai progres pekerjaannya. Progresnya tidak selesai,” ujarnya.
Tiga saksi pada persidangan, kemarin menurut JPU merupakan saksi terakhir. Pada persidangan selanjutnya, pihaknya akan menghadirkan saksi ahli ke dalam persidangan.
“Untuk saksi dari kami sudah cukup,” tutupnya.
Untuk diketahui, pada persidangan sebelumnya, JPU menghadirkan tujuh saksi kedalam persidangan.
Saksi dari Kelompok Kerja (Pokja) meliputi, Ketua Pokja, Burhanudin, Sekretari Pokja, Edi Susanto dan Edi Arianto.
Kemudian, JPU juga menghadirkan empat saksi dari Kantor Kemenag Bengkulu, meliputi PPK pertama Revitalisasi Asrama Haji, Ramlan, PPK kedua Intihan Sulaiman, Bendahara Kemenag Bengkulu, Rine dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang merupakan mantan Kepala Kemenag Bengkulu, Zahdi Taher.
Untuk diketahui, para terdakwa didakwa JPU dengan pasal berlapis, dakwaa primair Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Inonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diubah dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentarg Perubahan Atas Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 Kitab Undang - Undang Hukum Pidana.
Sekedar mengulas, dalam penyidikan proyek revitalisasi Asrama Haji ini berfokus pada ketidak benaran pada saat putus kontrak. Yang bermasalah terkait putus kontrak dalam pengerjaan oleh kontraktor pertama yakni PT. BKN.
Dari putus kontrak tersebut ditemukan selisih atau pada saat itu dinamakan kelebihan bayar. Realisasi keuangan negara berbeda dengan realisasi fisik.
Sehingga terhadap adanya selisih pekerjaan yang tidak sesuai dengan kenyataan itu tentu timbul kerugian negara. Pasalnya jaminan uang muka dan jaminan uang pelaksanaan senilai Rp3,8 miliar yang seharusnya dikembalikan oleh Jasa Asuransi Indonesia (Jasindo) serta PT. BKN, diduga belum dikembalikan.
Sebelum naik penyidikan, kasus ini sudah sempat ditangani JPN Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejati Bengkulu. Hingga kemudian dilimpahkan ke Bidang Pidsus Kejati Bengkulu.
Diketahui sumber dana proyek ini berasal dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Dimana akibat menyebabkan timbulnya kerugian negara sebesar Rp 1,2 miliar lebih. Namun kerugian negara itu sudah dikembalikan sebesar Rp 798 juta yang dititikan kepada JPU. (eng)