Menurut Oki, konsep pernikahan akan dinamis. Ada tarik ulur antara nilai lama dan tuntutan hidup yang baru.
“Mereka yang akan atau sedang menikah akan menghadapi kontradiksi terus menerus,” ujarnya.
Pandangan lama soal pernikahan menurutnya harus terus beradaptasi dengan kebutuhan masa kini.
Sementara itu Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie turut merespon menurunnya tren angka pernikahan di Indonesia.
Dia mengatakan angka pernikahan yang terdata 1,5 jutaan sepanjang 2023 itu harus dicermati oleh semua pihak terkait.
Dia mengatakan untuk mengetahui penyebab penurunan angka pernikahan dalam satu dekade terakhir, perlu dilihat dari berbagai pendekatan.
’’Seperti pendekatan sosiologis, budaya, dan ekonomi,’’ katanya.
Menurut Tholabi, pilihan untuk usia menikah bahkan pilihan perlu menikah atau tidak, dipengaruhi banyak faktor
Termasuk juga faktor demografi warga bersangkutan.
’’Misalnya mereka itu dari kaasan perkotaan atau perdesaan. Mereka bisa memiliki pandangan yang berbeda,’’ tuturnya.
Kemudian faktor ekonomi seperti besar kecilnya pendapatan seseorang juga menjadi pertimbangan untuk urusan menikah.
Tholabi mengatakan ada fenomena yang paradoksal di lapangan. Di satu sisi tren pencatatan nikah turun dalam sepuluh tahun terakhir.
Tetapi di sisi lain pengajuan dispensasi pernikahan mengalami peningkatan.
Dispensasi pernikahan itu adalah permintaan pernikahan bagi orang-orang yang secara usia belum memenuh aturan minimal.
Dia mengatakan pada 2019 lalu sebanyak 24.856 orang mengajukan dispensasi pernikahan.
Kemudian pada 2020 meningkat menjadi 64.222 orang. Angka tersebut kembali naik pada 2021 sebanyak 62.119 orang dan di 2022 sebanyak 52.095 orang.