BACA JUGA:Awasi Aset Keuangan Digital Termasuk Kripto, OJK Tambah Kriteria Kelayakan Calon Peserta Sandbox
Menurutnya, arah kebijakan pemanfaatan baru bara nasional, yang utama ada dua.
Pertama, jaminan pasokan batu bara dalam negeri harus ada supaya listrik tetap hidup. Kedua, soal peningkatan nilai tambah.
"Dan kita luar biasa paniknya pada waktu ada pengurangan suplai batu bara ke PLTU di Jawa, kira-kira satu tahun, dua tahun lalu.
Itu kita mati-matian pertahankan. Karena kalau sudah ada shutdown dua, tiga PLTU, maka Jawa akan kekurangan listrik," terang Irwandy.
BACA JUGA:Astra Motor Bengkulu Edukasi Safety Riding di Koperasi TKBM Kota Bengkulu
BACA JUGA:Nikmati Menu Buka Bersama di Hotel Santika Bengkulu, Makan Sepuasanya
Sementara itu, terkait peningkatan nilai tambah, Irwandy mengakui tantangannya sangat banyak.
Terutama adalah bagaimana mengoptimasi penggunaan batu bara dan mencegah lebih banyak emisi dari CO2.
"Batu bara kalau masih mau panjang umurnya, harus menerapkan green mining," imbuh Irwandy.
Dalam diskusi sama, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan,
data 2022 menunjukkan sebagian besar produksi listrik Indonesia berasal dari pembangkitan dengan sumber energi batu bara (66,98 persen).
Berturut-turut setelahnya yakni gas (16,95 persen), air (6,65 persen), panas bumi (5,35 persen), BBM (3,43 persen), dan sumer energi lainnya (surya, biomassa) sebesar 0,64 persen.
Adapun biaya pembangkitan rata-rata (Rp/kWh) PLTU batu bara sebesar 737,52.
Jauh lebih murah dibandingkan PLTS yang biaya pembangkitannya mencapai 1.034,52, tanpa backup system.
Selisihnya Rp 297/kWh atau 30 persen lebih tinggi PLTS dibandingkan PLTU batu bara.