5 Perusahaan Sawit Kuasai Ribuan Hektare Hutan Bengkulu Tanpa Izin
Hamparan perkebunan sawit yang luas yang berada di Provinsi Bengkulu --reno/rb
Direktur Genesis Bengkulu, Egi Ade Saputra, menyebut perusahaan-perusahaan tersebut tak lagi bisa memanfaatkan mekanisme pemutihan izin sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja.
“Batas waktu pengajuan sudah lewat November 2023. Setelah itu tidak ada lagi pengampunan. Seharusnya sudah ada sanksi administratif bahkan pidana,” tegas Egi.
Hal senada disampaikan Direktur Walhi Bengkulu, Dodi Faisal, yang menilai aparat penegak hukum dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) terkesan pasif.
“Ini pelanggaran terang-benderang. Seharusnya tanpa tekanan publik pun mereka sudah bergerak,” ujarnya.
Untuk diketahui, berdasarkan lampiran SK Menhut Nomor 784 Tahun 2012 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bengkulu luas kawasan bengkulu terdiri dari, Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA) dengan total luasan 462.965 hektare.
Terbagi dibeberapa jenis kawasan seperti Hutan Lindung (HL) 250.750 hektare, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 173.280 hektare, lalu Hutan Produksi Tetap (HP) 25.873 hektare dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) dengan luasan 11.763 hektare.
Kemudian jika mengacu pada PP No 23 Tahun 2021, wilayah kerja Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) diwabah kordinasi DLHK Provinsi Bengkulu seluas 461.666 hektar.
Direktur Ganesis Bengkulu, Egi Ade Saputra mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) segera melakukan pengusutan terhadap 5 perusahaan yang merambah hutan tanpa mengantongi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Lima perusahaan sawit di Bengkulu yang teridentifikasi melakukan kegiatan di kawasan hutan tanpa mengantongi PPKH itu, PT Daria Dharma Pratama, PT PD Pati, PT Persada Sawit Mas, PT Laras Prima Sakti, dan PT Jatropha Solutions.
“Seharusnya mereka sudah berbenah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada saat UU Cipta Kerja di sahkan,” paparnya.
Ia menyebutkan berdasarkan UU Cipta Kerja pelaku usaha yang kegiatannya terlanjur masuk dalam kawasan hutan tanpa perizinan kehutanan yang sah sebelum UU Cipta Kerja berlaku atau pada 2020 harus mengajukan permohonan penyelesaian paling lambat November 2023 lalu.
“Sekarang sudah berapa tahun, baru meminta klarifikasi, seharunya ini dilakukan sejak ketentuan itu berlaku,” paparnya.
Ia menyebutkan untuk penyelesaian keterlanjuran itu terbagi menjadi dua mekanisme berdasarkan Pasal 110A yakni, untuk kegiatan yang memiliki izin non-kehutanan alias izin usaha perkebunan tetapi berada di kawasan hutan. Pelaku usaha harus memenuhi komitmen, seperti pembayaran dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan, untuk mendapatkan pelepasan kawasan hutan.
Kemudian berdasarkan Pasar 110B untuk kegiatan yang tidak memiliki izin sama sekali di bidang kehutanan. Pelaku usaha dikenai sanksi administratif berupa denda, penghentian sementara, atau paksaan pemerintah.
“Perlu dicatat bahwa setelah batas waktu pengajuan terlampaui, tidak ada lagi mekanisme pemutihan atau pengampunan, dan perusahaan yang tidak mengurusnya akan dikenai sanksi administratif atau penegakan hukum,” paparnya.