Begitu pula BPJS Ketenagakerjaan. Karena para pekerja terdapat dihadapkan pada risiko kecelakaan kerja.
Yang mana sifat iurannya sebagai asuransi.
Misalnya, ketika seorang ayah meninggal saat bekerja dan merupakan satu-satunya pencari nafkah di keluarga. Praktis akan memengaruhi kondisi ekonomi maupun keuangan istri dan anaknya.
“Bisa miskin tiba-tiba. Dan itu risetnya clear. Jadi dua itu, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, bahwa memang ketika ada asuransi atau jaminan ketika terjadi shock secara finansial akibat kesehatan, meninggal, atau kecelakaan kerja itu ditopang oleh asuransi. Jadi negara step up kemudian menyediakan fasilitas asuransi melalui mobilisasi uang publik untuk disalurkan bagi mereka yang membutuhkan,” jelas Media.
Secara teori ekonomi sektor publik, kesehatan, pendidikan, dan keselamatan tenaga kerja merupakan public goods.
Artinya tiga aspek tersebut harus disediakan oleh negara.
Sedangkan, perumahan di negara manapun akan selalu menjadi kebutuhan privat.
Karena memang alaminya perumahan itu sangat individualis. Terdapat aspek ownership dan keputusan untuk membeli rumah atau tidak.
“Apakah mau tinggal di rumah orang tua? Mau rumah mewah atau sederhana? Artinya ada kebutuhan yang tidak terbatas. Sehingga ketika itu dijadikan public goods, kekacauan pasti akan terjadi,” terangnya.
Contoh, ketika semua masyarakat disediakan rumah, disuruh bayar iuran, dan bayar pajak maka ekosistem ekonomi kemungkinan akan colapse.
Meski pemerintah membuat rumah, belum tentu memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketika pemerintah membuatkan rumah di Bekasi Timur, belum tentu semua masyarakat mau tinggal di sana.
“Banyak variabel yang memengaruhi kebutuhan seseorang untuk beli rumah yang tidak dapat dipenuhi pemerintah,” imbuh dosen Universitas Gadjah Mada itu. (**)