Di bagian lain pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah mengatakan, dengan penduduk mayoritas Islam, ketentuan soal sertifikat halal itu memang diperlukan.
Namun dia mengatakan penargetan yang semula ditetapkan per 18 Oktober 2024 itu terburu-buru.
Mengingat jumlah pelaku UMK yang sangat banyak. Kemudian kemampuan literasinya juga sangat beragam.
’’Sebagai dasar mengurus sertifikat halal, harus punya NIB dulu,’’ katanya.
Ironisnya sampai saat ini tidak semua pelaku UMK memahami apa itu NIB.
Termasuk bagaimana proses mengurusnya. Padahal NIB itu aturan dasar sebelum mengurus sertifikat halal.
Dengan keragaman literasi dan banyaknya jumlah UMK, pemerintah harus menjalankan skenario sosialisasi serta pendampingan yang massif.
Dia mengusulkan pemerintah bisa melibatkan mahasiswa untuk sosialisasi dan pendampingan pengurus NIB, termasuk sertifikasi halal.
Sebagai kompensasinya, mahasiswa mendapatkan kredit poin dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Dengan skema tersebut, pemerintah tidak perlu menyediakan anggaran yang besar, untuk proses pendampingan.
Lina mengatakan mahasiswa bisa bekerja secara sukarela, selama ada kompensasi kredit dalam perkuliahan mereka.