Kepastian Hukum Dongrak Kinerja Industri Petrokimia, Ciptakan Iklim Usaha yang Kondusif
KEBIJAKAN IMPOR: Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor dinilai oleh pelaku industri tidak probisnis.-foto: biro humas kemenperin/koranrb.id-
“Saat ini, kapasitas pasokan untuk komoditas Polivinil klorida (PVC), Polietilen tereftalat (PET) dan Polistirena (PS) sudah dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sementara, kapasitas pasokan Polietilena (PE) dan Polipropilena (PP) masih belum mecukupi kebutuhan dalam negeri, namun saat ini sedang dalam tahap pengembangan,” paparnya.
Kemenperin memprediksi, sejumlah proyek industri kimia di Indonesia sampai tahun 2030, total nilai investasinya akan mencapai USD31.415 juta.
Adapun para investor tersebut, di antaranya dari PT. Chandra Asri Perkasa, PT. Lotte Chemical Indonesia, PT. Sulfindo Adiusaha, proyek olefin TPPI Tuban, dan proyek GRR Tuban.
Reni mengemukakan, guna memitigasi dampak regulasi yang tidak berpihak pada pelaku industri kimia, diperlukan upaya peninjauan kembali regulasi tersebut khususnya mengenai pengaturan impor untuk produk bahan baku plastik terutama LLDPE ataupun PET.
“Selain itu perlu dukungan dan fasilitasi pemerintah untuk menjamin iklim usaha industri terhadap investasi sektor industri kimia hulu khususnya komoditi petrokimia,” tegasnya.
Ketua Asosiasi Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengemukakan bahwa pemerintah perlu memahami betul mengenai tantangan yang sedang dihadapi oleh industri dalam negeri, termasuk di sektor petrokimia.
Apalagi, industri petrokimia merupakan salah satu sektor yang mendapat prioritas pengembangan karena memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.
BACA JUGA:Pemprov Bengkulu Targetkan Nilai B pada Evaluasi SAKIP Tahun 2024
“Mengingat industri petrokimia tergolong berskala besar, sehingga juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang holistik yang dapat membantu tumbuh kembangnya industri mulai dari hulu seperti sektor petrokimia, kemudian di intermediate ada industri polyester dan filament, serta untuk sektor hilir terdapat industri tekstil dan plastik,” jelasnya.
Mirisnya, suplai bahan baku dan barang jadi plastik saat ini didominasi oleh produk impor dari Negeri Tirai Bambu.
“RRT sangat agresif dalam membangun fasilitas produksi petrokimia sebagai bahan baku plastik selama pandemi Covid-19. Namun, permintaan dari pasar domestik tidak cukup tinggi untuk menyerap produksi tersebut, sehingga kelebihan pasokan tidak dapat dihindari,” tutur Fajar.
RRT juga sedang mengalami kesulitan dalam mengekspor produk bahan baku atau barang jadi plastik ke pasar utama seperti Amerika Serikat karena sanksi perang dagang. Akibatnya, RRT mengalihkan ekspornya ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Bahan baku dan barang jadi plastik asal China mudah masuk karena para eksportir di sana mendapat insentif dari pemerintah setempat,” ungkap Fajar.
Produk impor tersebut semakin sulit dibendung setelah pemerintah merelaksasi kebijakan importasi melalui pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.
“Para produsen plastik lokal pun kesulitan bersaing dengan produk impor dari RRT. Akibatnya, tingkat utilisasi produsen lokal terus menyusut hingga mencapai 50% saat ini,” tegasnya.